Tahun-tahun pertama menikah merupakan tahun-tahun adaptasi. Itu pendapat para pengamat dan komentator soal pernikahan dan keluarga.
Orang umum menganggapnya sebagai masa bulan madu, menandakan romatisme, kesan akan manisnya hari-hari yang akan dilalui. Apalagi bagi pemuda dan pemudi Muslim yang sebelumnya ”berpuasa” menahan diri dari romantisme dan pacaran yang tidak halal, tidak heran jika bayangan bulan madu sedemikian menjanjikan bagi mereka.
Apakah selalu manis? Apakah selalu indah dan romantis?
Wahai para calon pengantin, jika itu yang kalian bayangkan dan tidak mengantisipasi kenyataan, maka kalian akan terkejut. Bulan madu pasti indah, namun jangan pernah lupa bahwa ini dunia fana.
Pernikahan, layaknya dua manusia bersatu dalam sebuah lembaga, akan mengalami pasang dan surutnya. Itu pasti.
Sebagaimana yang bisa kita lihat dari arti doa yang disunnahkan kia ucapkan untuk pengantin:
Semoga Allah berkahi kalian berdua dalam masa bahagia dan smoga Allah berkahi kalian berdua dalam masa sulit dan semoga Allah selalu himpun kalian berdua dalam kebaikan (di dunia & di Akhirat).
Dari doa yang diajarkan oleh Nabi kita SAW ini jelaslah bahwa pasangan suami istri akan mengalami masa bahagia dan juga masa sulit. Yang terpenting adalah selalu hadirnya keberkahan daam masa seperti apapun dan juga penting untuk selalu ”berhimpun dalam kebaikan”.
Ketika pesta sudah usai, tenda sudah digulung, kerabat yang datang sudah kembali ke rumah masing-masing, kado sudah dibuka, dan pengantin tinggal hanya bersama keluarga terdekat mereka, maka adaptasi babak pertamapun dimulailah sudah.
Ketika sejumlah momen kegembiraan sudah berganti menjadi momen ”hari-hari biasa”, maka perjalanan tersebut baru saja dimulai bagi pasangan baru tersebut.
Jika pada masa pra-nikah kedua sejoli masing-masing baru mengenali “daftar sifat”, maka pada hari-hari pertama hingga ke pengahabisan tahun pertama, sifat-sifat tersebut barulah muncul satu persatu.
Bukan hanya sifat keduanya yang segera muncul, namun juga berbagai aspek lain. Jika sebelumnya sudah ada perbedaan “kufu”, maka mosaik persoalannya segera mengemuka.
Berikut ini adalah beberapa aspek yang berpotensi muncul sebagai masalah dalam adaptasi pasangan suami istri yang baru menikah:
Perbedaan latar belakang sosial ekonomi; Perbedaan tingkat pendidikan; Perbedaan usia yang amat jauh; Perbedaan suku/ras/budaya; Berinteraksinya sifat-sifat keduanya; Perbedaan ideologi maupun agama, jika sebelumnya hal ini tidak diperhatikan; Perbedaan selera makanan, gaya bersantai, sikap terhadap waktu, dll
Pendek kata segala hal mungkin/berpotensi menjadi masalah antara keduanya sebab pada hakekatnya persatuan dua insan pasti butuh penyesuaian.
Lantas, jika segala hal dapat menjadi sebab persoalan, apakah itu berarti pernikahan merupakan suatu langkah yang nekat?
Menikah merupakan tuntutan fitrah, sehingga betapapun ada tantangannya, tetap saja pernikahan adalah kebutuhan. Persoalan adapatasi bukan merupakan suatu momok yang sangat menakutkan, terutama ketika calon pengantin sebelum menikah sudah mempersiapkan diri untuk itu.
Perbedaan latar belakang sosial ekonomi pada hakekatnya bukan masalah besar jika keduanya hidup di budaya terbuka dan modern, apalagi di perkotaan. Terutama ketika keduanya mempunyai latar belakang pendidikan yang sama, misalnya, dulu teman se-kampus. Selama keduanya sadar akan aspek perbedaan ini dan dapat saling menghormati, maka keduanya hanya perlu saling tenggang rasa terhadap berbagai perbedaan kebiasaan pasangannya ini. Contoh:
Ani (nama samaran) berasal dari keluarga berada khas golongan menengah ke atas di kota besar, sedangkan Toto, suaminya, berasal dari keluarga petani desa. Keduanya bertemu di kampus. Kembang kampus ini bersedia menikah dengan Toto sebab ia dikenal anak sholeh di kampus. Dengan agama dan akhlak yang baik ini pulalah kedua orangtua Ani menerima lamaran Toto. Tekad mengabaikan perbedaan latar belakang sosial ekonomi demi mengutamakan agama dan akhlak ini sudah dipertimbangkan kedua orangtua Ani maupun kedua orangtua Toto sebab para orangtua ini sadar bahwa yang terpenting adalah agama dan akhlak. Hari-hari pertama menikah pasangan muda ini tinggal di rumah orangtua Ani di kawasan elit Jakarta dengan segala fasilitasnya yang super modern. Kejadian lucu adalah ketika pertama kali Toto berkenalan dengan peralatan kamar mandi di rumah mertuanya. Tak terbiasa dengan sanitari super modern, Toto tidak tahu bagaimana menyalakan keran air dan bahkan bagaimana membuka pintu kamar mandi.....
Mungkin saja ia ditertawakan oleh adik-adik iparnya saat itu, namun jika Toto berkepribadian terbuka dan lega hati iapun dapat mengatasi persoalan ini dengan mudah. Dengan menenggang menantu baru ini, kedua orangtua Ani kemudian mengganti peralatan sanitari di ruang keluarga dengan model yang lebih ”umum” sehingga Toto maupun sanak keluarganya yang datang dapat dipersilahkan ke toilet ini saja. Hal kecil seperti ini jika tidak disikapi dengan tenggang rasa kedua pihak dapat menjadi tumpukan duri dalam daging. Satu pihak akan merasa tertekan dan pihak lain merasa kesal dan merendahkan. Jika harga diri sudah disinggung, persoalan dapat meruncing dan setan dengan mudah mengganggu keduanya.
Menyadari jurang perbedaan ini, Toto memutuskan untuk pindah rumah ke kontrakan satu pintu dan segaja ia pilih di wilayah yang dekat dari rumah mertuanya meskipun di lingkungan lebih sederhana. Di kontrakan mungilnya Ani dapat sedikit-demi-sedikit menyesuaikan diri menjadi istri Toto dengan latar belakangnya yang sederhana. Ketika ia mulai hamil muda dan kembali agak manja, ia dapat kapan saja pergi bertandang ke rumah ibunya untuk sekedar menikmati AC dan jus stroberi maupun apel yang dibuat pelayan ibunya. Toto mengizinkan istrinya melakukan hal ini karena sadar istrinya perlu waktu untuk diajak hidup sederhana, terutama ketika sedang ’ngidam’ (hamil muda) yang sering kali lebih sensitif. Ketika saatnya pulang kampung ke desa, Ani sudah dapat bersabar dengan kipas angin dan bahkan kipas bambu, juga dengan wc jongkok di desa. Makan sederhana lesehan di kontrakan juga membuat ia tidak lagi canggung makan lesehan di bale bambu di teras rumah mertuanya.
Kunci keberhasilan adaptasi sosial ekonomi terletak pada tekad untuk sama-sama mementingkan agama dan akhlak. Jika orangtua Ani tidak mempunyai sikap yang sama, bisa jadi merekalah yang akan memanas-manasi Ani untuk tidak dapat bertenggang-rasa dengan keluarga suaminya maupun dengan ”kebiasaan kampung” suaminya seperti misalnya kebiasaan makan tanpa sendok garpu, maupun kebiasaan makan comot sana sini di meja makan. Ani sangat butuh dukungan keluarga untuk tetap mementingkan yang penting dan memaklumi yang kurang penting. Demikian juga Toto.
Kunci keberhasilan ini (mementingkan agama dan akhlak) juga dapat diterapkan pada perbedaan latar belakang budaya dan suku. Misalnya keluarga Kraton Solo menikah dengan orang Batak asli, dimana yang satu biasa berbicara sangat teratur dengan hirarki bahasa dan juga sering berbahasa tidak langsung, sedangkan satu lagi terbiasa blak-blakan (terang-terangan) dengan suara keras dan lepas. Bahkan biasanya yang berbudaya Jawa pertama kali seringkali terkejut karena volume suara yang bebas lepas ini.
Persoalannya kembali kepada tenggang rasa.
Kedua pihak pada gilirannya akan salaing menyesuaikan diri. Toto akan belajar bagaimana kebiasaan yang ”dapat diterima” dan ”kurang dapat diterima” di rumah mertuanya, sementara Ani belajar hal yang sama di rumah mertuanya namun dengan arah yang berbeda.
Demikian juga dengan perbedaan budaya dan suku, yang asli Jawa lama kelamaan akan belajar menerima suara keras dan gaya terus terang sementara yang Batak mulai belajar merendahkan volume sambil mempelajari apa makna-makna dalam bahasa sindiraan.
Toleransi kedua pihak, artinya kedua pihak perlu sama-sama mengendurkan saraf dan saling terbuka satu sama lain sambil memasang sikap siap beradaptasi menyesuaikan diri satu sama lain.
Toleransi ini sangat tepat untuk konteks seperti di atas, BUKAN, sekali lagi BUKAN untuk bertoleransi masalah perbedaan agama dan ideologi.
Wallahua’lam (SAN06052009)