Rabu, 21 Juli 2010

MELURUSKAN PEMAHAMAN BID'AH OLEH : USTADZ SONI PARSONO

MELURUSKAN PEMAHAMAN BID'AH
OLEH : USTADZ SONI PARSONO
(TANFIDZ MAJLIS KHOTMIL QUR'AN AL-HIDAYAH)

Bid’ah merupakan sebuah kata yang tidak asing bagi kita semua. Ia berhubungan dengan banyak hal di dalam islam. Sayangnya, banyak orang yang belum memahami makna bid’ah dengan benar. Sehingga, tidak jarang mereka terjebak dalam perselisihan. Sebenarnya, para ulama telah menjelaskan permasalahan ini dengan jelas, hanya saja kita kurang mempelajarinya. Dalam bab ini akan kami sampaikan uraian singkat tentang bid’ah, dengan harapan tidak terjadi lagi salah pemahaman terhadapnya. Semoga Alloh membukakan pintu hati kita untuk mengetahui kebenaran. Amin.

Arti bid’ah Secara Bahasa
Dalam berbagai kamus bahasa Arab, kita dapat menemukan arti bid’ah secara bahasa dengan mudah. Dalam kamus Al-Munjid disebutkan : “Bid’ah adalah sesuatu yang diadakan tanpa adanya contoh terlebih dahulu“.
Pada dasarnya, semua kamus bahasa Arab mengartikan bid’ah secara bahasa sebagai sebuah perkara baru yang diadakan atau diciptakan tanpa adanya contoh terlebih dahulu. Penciptanya disebut Mubtadi’ atau Mubdi’. Langit dan bumi dapat juga disebut sebagai bid’ah, sebab keduanya diciptakan oleh Alloh SWT tanpa adanya contoh terlebih dahulu. Didalam Al-Quran Alloh mewahyukan :
Badii’ussamaawaati wal ardhi
Alloh Pencipta langit dan bumi (tanpa contoh). (Al-Baqoroh, 2:117)

Arti Bid’ah Secara Istilah Agama

Sebuah Hadist tidak cukup sebagai dasar untuk menetapkan arti bid’ah. Kita harus mempelajari semua Hadist yang berkaitan dengannya. Tentunya tidak semua orang memiliki waktu dan pengetahuan yang cukup untuk melakukannya. Alhamdulillah, para ulama telah bekerja keras untuk merumuskan dan menjelaskan segala hal yang berhubungan dengan bid’ah. Dalam bab ini, kami akan sampaikan pendapat Imam Syafi’i rhm, seorang ulama ternama yang keilmuan dan kesalehannya diakui oleh dunia sejak dahulu hingga saat ini.

Pendapat Imam Syafi’i rhm
Imam Syafi’i rhm berpendapat bahwa bid’ah terbagi menjadi dua, yaitu bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah sayyi’ah (buruk) atau bid’ah mahmudah (yang terpuji) dan bid’ah madzmumah (yang tercela). Pendapat beliau ini berlaku bagi semua hal baru yang terjadi setelah zaman Rosululloh saw. dan zaman Khulafaur Rasyidin. Harmalah bin Yahya menyatakan bahwa beliau mendengar Imam Syafi’i rhm berkata :
“Bid’ah itu ada dua, bid’ah mahmudah (yang terpuji) dan bid’ah madzmumah (tercela). Bid’ah yang sesuai dengan sunah adalah bi’dah yang terpuji. Sedangkan yang bertentangan dengan sunah adalah bid’ah yang tercela.”
Rabi’ ra menceritakan bahwa imam syafi’i rhm berkata :
“Hal-hal baru (muhdatsat) itu ada dua. Pertama, hal baru yang bertentangan dengan Al-Quran, Sunah, Atsar maupun Ijma. Inilah bid’ah yang sesat. Kedua, segala hal baru yang baik dan tidak bertentangan dengan Al-Quran, Sunah, Atsar maupun Ijma. Hal baru ini merupakan bid’ah yang tidak tercela.”

Pembaca yang budiman, anda mungkin bertanya, mengapa Imam Syafi’i rhm berpendapat demikian, sedangkan Rasulullah saw telah bersabda:
“Barang siapa diberi hidayah oleh Allah, maka tiada siapapun yang dapat menyesatkannya. Dan barang siapa disesatkan oleh Allah, maka tiada siapapun dapat memberinya hidayah (Petunjuk). Sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad dan seburuk-buruk perkara adalah muhdatsat (hal-hal baru), dan semua muhdats (yang baru) adalah bid’ah dan semua bid’ah adalah sesat dan semua yang sesat tempatnya adalah di neraka.”(HR Nasa’i)
Hadist diatas memang benar, tetapi kita tidak boleh tergesa-gesa memutuskan bahwa semua bid’ah itu sesat. Untuk dapat memahaminya dengan benar, kita harus mengkaji semua Hadist yang berhubungan dengannya. Sehingga, kita tidak terjerumus pada penafsiran yang salah. Di bawah ini akan coba kami jelaskan makna dari Hadist diatas, semoga Alloh melapangkan hati kita untuk memahaminya dengan benar. Amin.
Penjelasan Pertama
Saudaraku, untuk dapat memahami sebuah ayat dengan benar kita harus mempelajari sebab turunnya ayat tersebut dan juga bagaimana penafsiran para ulama tentangnya. Begitupula ketika hendak memahami sebuah hadist, kita harus bertanya kepada para ulama. Sesungguhnya tidak semua ayat atau hadist dapat diartikan secara langsung sesuai dengan makna lahiriahnya atau teks yang tertulis. Orang yang bersikukuh hanya mau memahami sebuah ayat atau hadist sesuai dengan teks yang tertulis (makna lahiriahnya), dan tidak mau menerima penafsiran para ulama, suatu saat ia akan mengalami kebingungan. Hadist tentang bid’ah diatas merupakan salah satu Hadist yang memerlukan penafsiran. Jika kata semua bid’ah tidak ditafsirkan, maka apa yang akan terjadi ? kita semua akan masuk neraka, sebab kehidupan kita dipenuhi dengan bid’ah. Cara berpakaian, berbagai jenis perabotan rumah tangga, sarana transportasi, pengeras suara, permadani yang terhampar di masjid-masjid, lantai masjid yang terbuat dari marmer, penggunaan sendok dan garpu, hingga berbagai kemajuan tehnologi lainnya, semua itu merupakan hal baru yang tidak pernah ada dizaman Rosul saw dan para sahabat beliau. Semuanya adalah bid’ah dan Rosululloh saw. menyatakan bahwa semua bid’ah adalah sesat dan semua yang sesat tempatnya adalah neraka.
Ketika dihadapkan pada pertanyaan seperti ini, jawaban apa yang akan diberikan oleh mereka yang hanya berpegang pada makna lahiriah Hadist bid’ah. Dalam Hadist tersebut Rosululloh saw tidak menjelaskan hal baru apa yang sesat, beliau menyatakan semuanya sesat. Sehingga, jika Hadist tersebut dipahami secara langsung dan tidak ditafsirkan, semua hal baru dalam permasalahan dunia maupun agama adalah sesat dan pelakunya masuk neraka.
Ternyata, setelah dihadapkan pada pertanyaan seperti ini, mereka akan mengatakan bahwa semua yang tersebut diatas, seperti permadani yang terhampar di masjid, pengeras suara, berbagai sarana transportasi dan lain sebagainya adalah bid’ah dunyawiyyah (duniawi). Bid’ah seperti ini tidak sesat, yang sesat hanyalah bid’ah dalam bidang agama atau yang biasa disebut dengan bid’ah diniyyah (keagamaan).
Sungguh aneh bukan, jika sebelumnya mereka bersikukuh pada makna lahiriah Hadist yang menyatakan bahwa semua bid’ah adalah sesat, serta menganggap pembagian bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah sebagai sesuatu yang dipaksakan dan bertentangan dengan Hadist Rosululloh saw, kini mereka sendiri membagi bid’ah itu menjadi dua, bid’ah keduniaan dan bid’ah keagamaan.

Saudaraku, jika mereka boleh membagi bid’ah menjadi dua : bid’ah keduniaan dan bid’ah keagamaan, padahal Rosululloh saw tidak pernah melakukannya, maka para ulama besar seperti Imam Syafi’i rhm pun boleh membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah.
Mari kita berpikir jujur, ternyata semua ulama didunia ini telah menjelaskan arti bid’ah dan membaginya sesuai dengan hasil ijtihad mereka. Inilah salah satu alasan kami menerima pembagian bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah.
Penjelasan Kedua
Saudaraku, diatas telah dijelaskan bahwa tidak semua Hadist dapat dicerna langsung. Ada beberapa Hadist yang perlu dijelaskan dan ditafsirkan, dan salah satunya adalah Hadist tentang bid’ah tersebut. Hadist kullu bid’atin dhalaalatun merupakan Hadist yang bersifat umum. Dalam Hadist seperti ini biasanya terdapat kata atau kalimat yang tidak disertakan, tidak diucapkan, tetapi telah dipahami oleh pembaca atau pendengarnya. Hadist kullu bid’atin dhalaalatun mirip dengan beberapa Hadist dibawah ini :
Laa yu’minu akhadukum khatta yukhibba liakhiihi maa yukhibbu linafsihi.
”Tidak beriman salah seorang diantara kalian sebelum ia mencintai untuk saudaranya seperti ia mencintai untuk dirinya sendiri.“ (HR Bukhari, Tirmizdi, Nasa i, Ibnu Majah dan Ahmad).
Laisa minnaa manlam yataghonna bil quraaani.
“Bukan dari golongan kami seseorang yang tidak membaca Al-Quran dengan suara yang baik (merdu).“ (HR Bukhari, Abu Dawud, Ahmad dan Darimi)
Alwitru khaqqun faman lamyuutir falaisa minnaa.
”Sholat witir itu benar, maka barang siapa tidak menunaikan sholat witir, ia bukan dari golongan kami.“ (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Laa wudhuua liman lam yadzkurismalloohi ‘alaihi.
“Tidaklah berwudhu seseorang yang tidak menyebut nama Alloh dalam wudhunya.“
(HR Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad dan Darimi).
Jika kata tidak dan bukan dari golongan kami dalam beberapa Hadist diatas tidak dijelaskan, tidak ditafsirkan, lalu bagaimana nilai wudhu kita, bagaimana nilai bacaan Al-Quran kita, bagaimana kedudukan kita dalam Islam ? Nabi menyatakan, “Bukan dari golongan kami.“ Jika tidak berada dalam golongan Nabi dan para sahabatnya, kita berada dalam golongan (kelompok) siapa ? Oleh karena itu, Hadist di atas dan sejenisnya, perlu dan harus ditafsirkan dengan Hadist lain, sehingga kita tidak salah memahami ucapan Nabi Muhammad saw. Para ulama menyatakan bahwa kata “tidak” dalam Hadist di atas artinya adalah “tidak sempurna“. Dalam Hadist itu ada kata “Sempurna“ yang tidak diucapkan oleh Nabi saw karena telah dipahami oleh para sahabat. Sedangkan kata, “Bukan dari golongan kami“ artinya “Bukan dari golongan terbaik kami“. Dalam Hadist ini terdapat kata “Terbaik“ yang juga tidak diucapkan oleh Nabi saw karena telah dipahami oleh para sahabat.

Para ulama menjelaskan bahwa dalam Hadist kullu bid’atin dhalalatun juga terdapat kalimat yang tidak diucapkan oleh Nabi saw, namun telah dipahami oleh para sahabat. Kalimat itu terletak setelah kata “Bid’atin“ dan bunyinya adalah :

”yang bertentangan dengan syariat.“
Coba anda perhatikan kalimat yang terletak di dalam tanda kurung berikut :
“Semua bid’ah (yang bertentangan dengan syariat) adalah sesat dan semua yang sesat tempatnya adalah di neraka. “ini juga alasan kami mengapa pendapat Imam Syafi’i di atas kami terima.

Penjelasan Ketiga
Dalam Hadist di atas, Rosululloh saw menyatakan bahwa kullu bid’atin dhalalatun, yang jika diterjemahkan secara tekstual (sesuai dengan makna lahiriahnya) akan berarti semua bid’ah adalah sesat. Yang menjadi pertanyaan, benarkah kata kullu selalu berarti semua ?
Di dalam Al-Quran terdapat beberapa kata kullu yang pada kenyataannya tidak berarti semua, coba perhatikan wahyu Alloh berikut :
Yudammiru kulla syaiin biamri robbihaa fa asbakhuu laayuroo illaa masaa kinuhum kadzaalika najziil qoumal mujrimiin.
“(Angin) yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya, maka jadilah mereka tidak ada yang kelihatan lagi kecuali tempat tinggal mereka. Demikianlah kami memberi balasan kepada kaum yang berdosa.” (Al-ahqof, 46:25).

Dalam ayat di atas Alloh menggambarkan bagaimana angin menghancurkan segala-galanya sehingga orang-orang kafir tersebut terkubur didalam bumi. Kendati disebutkan bahwa angin tersebut menghancurkan kulla syai’in (segala sesuatu), ternyata rumah orang-orang kafir tersebut tidak ikut hancur. Ini membuktikan bahwa kata kullu tidak selalu berarti semua. Dalam ayat diatas, rumah orang-orang kafir yang tidak hancur tersebut merupakan salah satu pengecualian.
Begitu pula dalam hadist “Kullu bid’atin dhalalatun,” disana ada sesuatu yang dikecualikan. Rosululloh saw bersabda :
Man akhdatsa fii amrinaa haadzaa maalaisa minhu fahuwa roddun.
“Barang siapa membuat sesuatu yang baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber darinya (agama), maka dia tertolak.“ (HR Muslim, Ibnu Majah dan Ahmad).
Pehatikan kalimat “Yang tidak bersumber darinya (agama)“. Inilah kalimat yang menjelaskan bahwa tidak semua bid’ah sesat. Berdasarkan sabda Rosululloh saw di atas, maka Hadist “Kullu bid’atin dhalalatun,“ dapat diartikan sebagai berikut : Semua bid’ah itu sesat kecuali yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunah.”
Penjelasan ini mungkin belum meyakinkan kita semua, oleh karena itu, mari kita coba untuk menyimak penjelasan berikutnya.

Penjelasan Keempat
Setelah memahami keterangan di atas, mari kita pelajari arti muhdatsat (hal-hal baru) dalam Hadist sebelumnya. Para ulama menyatakan bahwa kata muhdatsat (hal-hal baru) dalam Hadist tersebut artinya adalah segala hal baru yang tidak sesuai dengan Al-Quran dan Hadist Nabawi. Pernyataan ini didukung oleh beberapa Hadist. Coba anda simak sabda Rosululloh saw berikut :
Wamanibtada’a bid’ata dholaalatin laaturdhillahu warosuulahu kaana ‘alaihi mislu aaatsaami man ‘amila bihaa laayanqusu dzaalika min auzaarinnaasi syaian
“Dan barang siapa mengadakan sebuah bid’ah dhalalah (sesat), yang tidak diridhoi Alloh dan RosulNya, maka dia memperoleh dosa sebanyak dosa orang yang mengamalkannya tanpa sedikit pun mengurangi dosa-dosa mereka. “ (HR Tirmidzi)
Dalam Hadist di atas disebutkan, “Barang siapa mengadakan sebuah bid’ah dholalah (yang sesat)”. Hal ini menunjukan bahwa tidak semua bid’ah sesat, kalau semua bid’ah itu sesat, tentu beliau saw akan langsung berkata : “Barang siapa mengadakan sebuah bid’ah.“
Dan tidak akan menambahkan kata dhalalah dalam sabdanya tersebut. Dengan menyebut kalimat “bid’ah dhalalah (yang sesat), “maka logikanya ada bid’ah yang tidak dholalah (yang tidak sesat).Disamping itu, dalam sabdanya yang lain, Rosululloh saw bersabda : Man ahdatsa fii amrinaa haadzaa maa laisa fiihi fahuwa roddun.
“Barang siapa membuat sesuatu yang baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak terdapat di dalam agama, maka ia tertolak.“ (HR Bukhari dan Abu Dawud)
Man ahdatsa fii amrinaa haadzaa maa laisa minhu fahuwa roddun.
“Barang siapa membuat sesuatu yang baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber darinya (agama), maka dia tertolak.“ (HR Muslim, Ibnu Majah dan Ahmad).
Coba perhatikan, dalam Hadist di atas Rosululloh saw menambahkan kalimat “Yang tidak bersumber dari agama” dan kalimat “Yang tidak terdapat dalam agama“. Akankah sama jika kalimat tersebut di hilangkan. Coba perhatikan perbedaan keduanya (yang masih utuh dengan yang sudah dipotong)
“Barang siapa membuat sesuatu yang baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber dari (agama), maka dia tertolak.”
Bandingkan dengan kalimat berikut :
“Barang siapa membuat sesuatu yang baru dalam masalah (agama) kami ini, maka dia tertolak.”
Jika kita perhatikan dengan baik, kedua kalimat di atas sangat berbeda. Kalimat pertama memberitahukan bahwa hal yang baru yang tidak bersumber dari agama saja yang ditolak sedangkan kalimat kedua menyatakan bahwa semua yang baru di tolak.
Kini jelaslah bahwa penambahan kalimat “Yang tidak bersumber darinya (agama).“ merupakan bukti bahwa tidak semua yang baru sesat. Hanya hal baru yang tidak bersumber dari agama sajalah yang sesat. Andaikata semua hal yang baru adalah sesat, tentu Nabi saw tidak akan menambahkan kalimat tersebut. Beliau saw akan langsung berkata. “Barang siapa membuat sesuatu yang baru dalam masalah (agama) kami ini maka ia akan tertolak,“ tetapi hal ini tidak Beliau lakukan.
Kesimpulannya, selama hal baru tersebut bersumber dari Al-Quran atau Hadist, maka dia dapat di terima oleh agama, diterima oleh Alloh dan diterima oleh Rosul-Nya saw.

Penjelasan Kelima
Rupanya pemahaman bahwa tidak semua bid’ah itu sesat telah dipahami oleh para sahabat. Bahkan seorang sahabat terkemuka, Khalifah kedua dalam islam, Amirul Mukminin Umar bin Khaththab ra pernah mencetuskan istilah bid’ah baik untuk sebuah amalan yang beliau susun, yaitu shalat tarawih berjamaah di Masjid selama bulan ramadhan dengan seorang imam yang hapal Al-Quran. Imam Bukhari ra. dalam kitab Sahihnya menyebutkan :
Dari Abdurrohman bin Abdul Qari, ia berkata, “Pada suatu malam di bulan ramadhan, saya keluar menuju masjid bersama Umar bin Khaththab ra. Di sana (tampak) masyarakat sedang menunaikan sholat (tarawih) secara berkelompok terpisah-pisah . Ada yang sholat sendiri ada pula yang sholat berjamaah bersama sekelompok orang. Pada saat itulah Umar ra. berkata, ‘Menurutku, andaikata semua orang ini kupersatukan dibawah pimpinan seorang imam yang hapal Al-Quran tentu akan lebih baik.’ Beliau bertekat untuk mewujudkan niatnya . Akhirnya beliau persatukan mereka dibawah pimpinan ‘Ubay bin Ka’ab. Di malam lain, aku keluar menuju Masjid bersama Umar ra. Saat masyarakat sedang menunaikan sholat (tarawih) berjamaah dengan imam mereka yang hapal Al-Quran. (Ketika menyaksikan pemandangan tersebut) berkatalah ‘Umar : Inilah sebaik-baik bid’ah.“ (HR Bukhari dan Malik).

Dengan jelas, di hadapan para sahabat, Sayidina ‘Umar ra mengucapkan, “Inilah sebaik-baik bid’ah.“ Ucapan beliau ini merupakan salah satu bukti bahwa tidak semua bid’ah sesat, hanya bid’ah yang bertentangan dengan Al-Quran dan Hadistlah yang sesat.
Jika ada orang yang berkata, “Perbuatan Sayidina ‘Umar itu bukan bid’ah, bukankah Rosululloh saw juga melaksanakan sholat tarawih bersama para sahabat ?“ Perlu diketahui memang benar bahwa Rosululloh saw melakukan sholat tarawih bersama para sahabat, tetapi Beliau tidak melakukannya berjamaah selama satu bulan penuh, beliau hanya melakukannya selama dua atau tiga hari (ada perbedaan riwayat). Karena khawatir tarawih tersebut diwajibkan kepada umatnya, disamping itu Rosululloh saw juga tidak membacakan Al-Quran secara urut dari surat Al-Fatihah hingga khatam (sampai surat An-Nas). Lain halnya dengan Sayidina ‘Umar , beliau mengumpulkan para sahabat untuk melalukan sholat tarawih serta memilih seorang imam yang hapal Al-Quran untuk membacanya dari awal hingga khatam. Apa yang beliau lakukan tersebut tidak pernah dilakukan oleh Rosululloh saw sehubungan dengan sholat tarawih. Oleh karena itulah Sayidina ‘Umar mengakui bahwa perbuatannya itu bid’ah, tetapi beliau paham bahwa tidak semua bid’ah itu sesat. Beliaupun menjelaskan bahwa bid’ah yang beliau lakukan, yang memiliki dasar dalam Al-Quran maupun Hadist, adalah bid’ah yang baik. Buktinya, beliau merasa senang dengan idenya tersebut dan mengucapkan :
“ Inilah sebaik-baik bid’ah. “

Penjelasan Keenam
Rosululloh saw. selalu mendorong umatnya untuk melaksanakan semua perintah Alloh, menjauhi semua larangan-Nya serta menghidupkan selalu sunah-sunah Beliau. Tentunya setiap zaman memiliki cara dakwah tersendiri dan setiap masyarakat memiliki adap yang berbeda. Rosululloh saw memerintahkan kita untuk berbicara dengan manusia sesuai dengan tingkat pemikiran dan pemahamannya . Untuk menghidupkan sunah Rosul saw yang sering kali diabaikan oleh umat islam inilah, para ulama kemudian memunculkan berbagai gagasan dan ide cemerlang yang dapat diterima oleh sebagian besar masyarakat. Gagasan tersebut mereka peroleh setelah mendalami Al-Quran dan Al-Hadist. Meskipun dikemas dalam model atau bentuk baru, tetapi isinya tiada lain adalah Al-Quran dan Al-Hadist. Salah satu contohnya adalah apa yang telah dilakukan oleh sayidina ‘Umar ra diatas . Beliau berupaya menghidupkan sunah Rosululloh saw dengan mempersatukan umat dalam kebaikan. Apa yang dilakukan oleh Sayidina ‘Umar ra serta para ulama lain yang mengikuti jejak beliau ra, tiada lain adalah salah satu upaya untuk mengamalkan sabda Rosululloh saw yang berbunyi :
“Barang siapa mencontohkan suatu perbuatan baik di dalam islam, kemudian perbuatan tersebut diamalkan (orang lain), maka ia akan memperoleh pahala orang-orang yang mengamalkannya tanpa sedikitpun mengurangi pahala mereka. Dan barang siapa mencontohkan sebuah perbuatan buruk di dalam islam, kemudian perbuatan tersebut diamalkan (oleh orang lain), maka dia memperoleh dosa semua orang yang mengamalkannya tanpa sedikitpun mengurangi dosa-dosa mereka. “
(HR Muslim, Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah, Ahmad dan Darimi).

Oleh karena itu, jangan gegabah dan tergesa-gesa menuduh bahwa suatu hal yang tidak ada pada zaman Rosululloh saw dan para sahabat sebagai bid’ah sesat yang harus diperangi. Tetapi, dengan kedewasaan berpikir, marilah kita kaji landasan dan dalil yang mereka gunakan dalam kegiatan keagamaan tersebut. Jika memang tidak bersumber dari Al-Quran dan Al-Hadist, mari bersama-sama kita dakwah dengan cara yang bijaksana dan nasihat yang baik. Dan jika memang ada sumbernya dari Al-Quran dan Al-Hadist, mari kita dukung bersama sebagai sarana untuk menghidupkan ajaran Al-Quran dan sunah Rosululloh saw.

Pembagian Bid’ah Menjadi Lima
Secara umum bid’ah memang ada dua, yaitu bid’ah hasanah dan bid’ah sayy’iah. Akan tetapi, kita semua tahu bahwa tidak semua yang baik itu wajib dan tidak semua yang buruk itu haram, ada yang bersifat sunah ada pula yang mubah dan makruh. Begitu pula dalam permasalahan bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah, ada beberapa ulama yang membaginya menjadi lima bagian, di antaranya adalah Imam Nawawi ra. Beliau berkata :
Qoolal ‘ulamaa’u albid’atu khomsatu aqsaamin waajibatun wamanduubatun wamukharromatun wamakruuhatun wamubaahatun.
“Para ulama menyatakan bahwa bid’ah itu terbagi menjadi lima, yaitu bid’ah wajib, bid’ah mandub (sunah), bid’ah haram, bid’ah makruh dan bid’ah mubah.“

Bid’ah Wajib
=Bid’ah wajib, adalah bid’ah yang harus dilakukan demi menjaga terwujudnya kewajiban yang telah ditetapkan Alloh SWT.
Diantaranya adalah :
1. Mengumpulkan ayat-ayat Al-Quran menjadi satu Mushaf demi menjaga keaslian Al-Quran, karena telah banyak penghapal Al-Quran yang meninggal dunia, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar dan ‘Umar ra.
2. Memberi titik dan harakat (garis tanda fathah, kasrah dan dzamma pada huruf-huruf Al-Quran). Pada zaman Rosul saw maupun Khulafaur Rasyidin ra, Al-Quran ditulis tanpa titik dan harakat. Pemberian harakat dan titik baru dilakukan pada masa Tabi’in. Tujuannya adalah untuk menghindari kesalahan baca yang dapat menimbulkan salah pengertian dan penafsiran.
3. Membukukan Hadist-Hadist Nabi Muhammad saw sebagaimana yang telah dilakukan oleh Imam Bukhari, Muslim, dan ahli Hadist lainnya.
4. Menulis buku-buku tafsir Al-Quran demi menghindari salah penafsiran dan untuk memudahkan masyarakat memahami Al-Quran.
5. Membuat buku-buku fiqih sehingga hukum agama dapat diterapkan dengan baik dan mudah.

Bid’ah Haram (Dhalalah)
Bid’ah haram adalah semua bid’ah yang bertentangan dengan Al-Quran dan Hadis Nabawi, diantaranya adalah :
1. Menganggap seorang muslim yang berbeda aliran dengannya sebagai najis. Padahal, dalam Al-Quran orang kafir pun jasadnya tidak najis, sehingga Nabi saw pernah mengikat seorang tawanan didalam masjid.
2. Menambah atau menguragi isi Al-Quran.
3. Sholat tidak dengan bahasa Arab.
4. Membuat haji tandingan, yaitu menunaikan haji bukan ke tanah suci, tetapi ke lokasi tertentu yang dekat dengan daerahnya karena menganggap tanah suci terlalu jauh dan biayanya terlalu besar.
5. Membangun masjid dengan uang haram.
6. Menghadiri peringatan Natal dan sejenisnya.
7. Memiliki istri lebih dari empat.
8. Menikah dengan penganut agama lain.
Bid’ah Sunah
Bid’ah sunah adalah semua bid’ah yang sesuai dengan Al-Quran dan bersifat menghidupkan sunah Nabi saw, diantaranya adalah :
1. Menyelenggarakan sholat Tarawih selama satu bulan penuh.
2. Menambahkan adzan pertama dalam sholat jum’at. (dimulai oleh Khalifah Ustman bin Affan).
3.Menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi saw dan hari-hari besar lainnya dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan syariat.
4. Menyelenggarakan pengajian rutin di hari dan jam tertentu.
5. Berjabat tangan sesudah shalat.
6. Membentuk organisasi-organisasi keagamaan.
7. Khutbah Jum’at dengan bahasa Arab pada rukunnya saja dan setelah itu menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa lainnya sehingga makna khutbah dapat dipahami oleh pendengar.
8. Membuat program Al-Quran dalam CD.
9. Mendirikan pesantren dan sarana pendidikan islami lainnya.
Bid’ah Makruh
Bid’ah makruh adalah semua bid’ah yang berhubungan dengan hukum makruh, di antaranya adalah : Membaca basmalah ketika akan merokok.

Bid’ah Mubah
Bid’ah mubah adalah bid’ah yang tidak bertentangan dengan Al-Quran dan Hadist tidak pula dianjurkan oleh keduanya. Di antaranya adalah membuat makanan yang lezat-lezat, membuat rumah yang luas dan besar, menunaikan ibadah haji menggunakan pesawat udara, melancong ke luar negeri dan lain sebagainya.
Demikian semoga bermanfaat, Amin Ya Robbal ‘alamin.

Eiger Shop Indonesia